Entri Populer

Kamis, 25 Agustus 2011

Pengolahan Limbah Ternak Sapi Menjadi Pupuk Organik Berkualitas Tinggi

Abstract
Kelompok Tani Amanah di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu kelompok tani yang sangat kompak dan kreatif dalam mengembangkan usahanya, baik di sektor pertanian maupun peternakan. Hal tersebut setidaknya bisa dilihat dari jumlah ternak bantuan proyek SPFS-FAO yang semula hanya 19 ekor, kini berkembang menjadi 51 ekor. Kreatifitas tersebut tidak hanya dari segi pemeliharaan ternak, tetapi juga dalam pemanfaatan limbah ternak sapi. Seiring dengan berkembangnya jumlah ternak, kotoran sapi pun volumenye terus meningkat, sehingga perlu penanganan yang lebih baik, agar limbah tidak merusak lingkungan dan menimbulkan penyakit. Melalui keseriusan saat mengikuti Sekolah Lapangan yang di adakan SPFS, Kelompok Tani Amanah, kini mampu membuat dan menghasilkan kompos atau pupuk organik berkualitas tinggi melalui bahan yang tersedia dan cara pengolahan sederhana.
Type of technology

Detail Description of technology
Masalah Kotoran Sapi
Umumnya tujuan para peternak dalam beternak sapi adalah untuk mendapatkan daging sapi melalui proses pertambahan berat badan sapi. Selain menghasilkan daging, dalam beternak sapi juga dihasilkan produk lain seperti kulit, tulang, darah, urin dan kotoran atau limbah sapi.

Dari berbagai produk beternak sapi tersebut, salah satu yang menjadi masalah, sehingga bisa merepotkan pemilik ternak adalah kotoran sapi. Betapa tidak. Untuk seekor sapi betina bisa menghasilkan kotoran antara 8 sampai 10 kilogram/harinya. Jika sapi yang diperlihara jumlahnya banyak dan cara pemeliharaannya dibiarkan berkeliaran di berbagai tempat,  tanpa pengkandangan dan pemeliharaan yang baik, dapat dipastikan kotoran sapi akan berceceran dimana-mana. Hal tersebut tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena selain mengganggu dan mengotori lingkungan, juga sangat berpotensi untuk  menimbulkan penyakit bagi masyarakat sekitarnya.

Kotoran sapi inipun semula menjadi persoalan tersendiri bagi Kelompok Tani Amanah yang dibentuk tahun 2001 dan berlokasi di desa Bilelendo, Kecamatan Praya Timur, sekitar 25 km dari kabupaten Lombok Tengah, Mataram, Indonesia.

Pada tahun 2004 Kelompok Tani Amanah yang beranggotakan 38 anggota  memperoleh bantuan ternak dari proyek SPFS FAO sebanyak 19 ekor sapi, terdiri dari 2 ekor pejantan dan 17 ekor betina. Bantuan ternak tersebut bertujuan untuk pengembangan usaha dan peningkatan pendapatan petani.

Agar bantuan ternak memberikan hasil maksimal, SPFS juga memfasilitasi kelompok tani dengan pembinaan intensif melalui Sekolah Lapangan  dan penyuluhan. Hasilnya, kalau semula jumlah ternak 19 ekor, sekarang telah berkembang menjadi 51 ekor sapi.

Seiring dengan bertambah banyaknya jumlah ternak, kotoran sapi yang dihasilkan pun terus meningkat, sehingga jika dibiarkan begitu saja dapat mengganggu lingkungan dan berpotensi menimbulkan penyakit, untuk itulah perlu ada upaya untuk mengatasiya.

Mengikuti Sekolah Lapangan
Agar kotoran sapi tidak menjadi limbah yang menjijikan dan mencemarkan lingkungan, SPFS mengadakan Sekolah Lapangan yang diikuti anggota Kelompok Tani Amanah. Melalui pembinaan yang intensif, kotoran sapi — yang mungkin bagi sebagian peternak dianggap sebagai limbah yang tidak bermanfaat, ditangan Kelompok Tani Amanah, limbah tersebut justru bisa diolah menjadi Kompos yang sangat bermanfaat untuk digunakan penyubur tanah.

Perlu dipahami, bahwa proses komposing adalah dekomposisi bahan-bahan organik atau proses perombakan senyawa-senyawa kompleks menjadi sederhana dengan bantuan mikroba. Komposing sangat penting dilakukan, karena bahan-bahan organik memiliki beberapa permasalahan seperti : memiliki C/N ratio (imbangan karbon dan niteogen) yang tinggi; kadar air atau kelembaban tinggi; kadar oksigen rendah; dan ketersediaan mikroba relatif sedikit.

Mudah Cara Pengolahannya
Pengolahan kotoran sapi menjadi kompos bisa dilakukan oleh peternak dimanapun berada, karena caranya sederhana, mudah diikuti dan bahannya tersedia disekitar peternak sendiri.
Langkah awal yang dilakukan dalam pengolahan kotoran sapi menjadi kompos adalah, menyiapkan dan mengumpulkan bahan yang diperlukan, yaitu :
1.       Kotoran sapi minimal 40%, dan akan lebih baik jika bercampur dengan urin.
2.       Kotoran ayam maksimum 25% (jika ada).
3.       Serbuk dari kayu sabut kelapa 5% atau limbah organik lainnya seperti jerami dan sampah rumah tangga
4.       Abu dapur 10%
5.       Kapur pertanian
6.       Stardec 0,25%.
Mengingat Stardec merupakan stimulan untuk pertumbuhan mikroba (Stardec dapat pula merupakan agregat bakteri atau cendawan dorman) maka billa stardec tidak tersedia dapat diganti dengan kompos yang sudah jadi, karena di dalam kompos juga tersedia agregat bakteri atau cendawan pengurai bahan organic yang sedang dorman.

Setelah semua bahan terkumpul, ikuti proses pengolahan kompos sbb :
1.       Sehari sebelum komposing dimulai (H-1), campurkan bahan utama (kotoran sapi, kotoran ayam jika ada, sabut kelapa/serbuk gergaji, abu dapur dan  kapur pertanian) secara merata, atau ditumpuk mengikuti lapisan :
a)       Kotoran ayam ditempatkan paling bawah (jika ada) dan dibagian atasnya ditempatkan kotoran sapi. Tinggi kotoran ayam dan sapi maksimum 30 cm (Gambar 1).
b). Lapisan berikutnya dari kapur pertanian (Gambar 2), yaitu untuk menaikkan PH karena mikroba akan tumbuh baik pada PH yang tinggi (tidak asam).
c). Gunakan serbuk dari sabut kelapa, karena C/N-nya lebih rendah ( +60) dan mengandung KCl, sedangkan kalau menggunakan sabuk gergaji (Gambar 3) kadar C/N-nya sangat tinggi (+ 400)
d.       Dan paling atas adalah abu. (Gambar 4)
1.       Tumpukan seperti pada point 1 di atas, harus diulangi sampai ketinggian sekitar 1,5 meter.
2.       Pada hari pertama (H0), tumpukan bahan disisir, lalu ditaburi dengan stardec (Gambar 5) sebanyak 0,25% atau 2,5 kg untuk campuran sebanyak 1 ton.
3.       Tumpukan bahan minimal dengan ketinggian 80 cm.
4.       Biarkan tumpukan selama satu minggu (H+7) tanpa ditutup, namun harus terjaga agar terhindar dari panas dan hujan. Artinya, pada hari ketujuh, campuran bahan harus dibalik, agar diperoleh suplai oksigen dalam proses komposing. Pembalikan ini dilakukan kembali pada hari ke 14, 21 dan 28.
5.       Pada hari ke 7 suhu bahan mulai meningkat sampai dengan hari ke-21. Peningkatan bisa mencapai 60-70 C, dan akan turun kembali pada hari ke 28 atau tergantung bahan yang digunakan. Jika lebih banyak menggunakan bahan dari kotoran ayam, suhu bahan menjadi lebih tinggi dalam waktu lebih lama (bisa mencapai lebih dari 70C dalam waktu lebih dari 28 hari). Jika  hanya memakai bahan dari kotoran ternak sapi, proses meningkatnya suhu akan terjadi selama 21 hari dan akan menurun pada hari ke 28, dengan tingkat suhu 35-40 C.
Perlu dipahami, bahwa meningkat dan menurunnya suhu menandakan proses komposing berjalan sempurna, yang ditandai dengan adanya perubahan warna bahan menjadi hitam kecoklatan.

Suhu yang tinggi selama proses komposing juga berfungsi untuk membunuh biji-biji gulma dan bakteri patogenik. Selain itu, apabila dilakukan uji laboratorium, pupuk organik yang dihasilkan akan memiliki komposisi sebagai berikut :
a.     Kelembaban                                         65%
b.     C/N ratio maksimum                           20
c.     Total Nitrogen (N)                                > 1,81%
d.     P205                                                      > 1,89%
e.     K2O                                                        > 1,96%
f.      CaO                                                        > 2,96%
g.     MgO                                                       > 0,70%
h.     Kapasitas Tukar Kation                      > 75 me/100 g
j.      pH                                                           6,5 – 7,5

Dengan komposisi tersebut, pupuk yang dihasilkan adalah pupuk organik berkualitas tinggi, sehingga sangat baik untuk digunakan bagi semua tanaman, tambak dan kolam ikan.
Agar dalam proses pengolahan kotoran sapi menjadi kompos lebih efektif dan efisien, sebaiknya pengolahannya dilakukan pada sebuah bangunan. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh Kelompok Tani Amanah yang membangun tempat pengolahan kompas berukuran  2 m x 6 m. (Gambar 6)

Bagi Kelompok Tani Amanah, bangunan yang dibuat dengan cara menyisihkan uang saku para anggota ketika mengikuti Sekolah Lapangan tersebut tersebut sangat bermanfaat, baik ketika melakukan proses pengolahan kompos maupun untuk penyimpanan dalam waktu lama, terutama ketika kesulitan mendapatkan air di saat musim kemarau.

Manfaat Pengolahan Kompos
Ada beberapa manfaat yang bisa dirasakan petani yang menggunakan kompos untuk pertanaman. Diantaranya adalah :
1.       Hemat biaya dan tenaga
2.       Pupuk organik yang dihasilkan berkualitas tinggi
3.       C/N ratio kurang 20 Bebas dari biji-biji gulma (tanaman liar) dan mikroba pathogen.
4.       Bebas dari patogenik atau yang merugikan jamur-jamur akar serta parasit lainnya
5.       Bebas phytotoxin
6.       Tidak Berbau dan mudah menggunakannya
7.       Tidak membakar tanaman
8.       Dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik
9.       Aman untuk semua jenis tanaman dan lingkungan
10.    Ph normal berkisar 6,5 sampai 7,5 mampu memperbaiki pH tanah.
11.Mampu meningkatkan biodiversitas dan kesehatan tanah
12.    Memperbaiki tekstur tanah, sehingga tanah mudah diolah
13.    Meningkatkan daya tahan tanah terhadap erosi
14.    Mampu meningkatkan produktivitas lahan antara 10-30%, karena biji tanaman lebih bernas dan tidak cepat busuk.
15.    Tanaman akan dijauhi hama penyakit dan jamur
16.     Meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK).
17.    Meningkatkan kapasitas cengkeram air (water holding capacity).

Dampak Bagi Petani SPFS Lombok Tengah
Kotoran sapi yang terbuang begitu saja, bisa diolah menjadi Kompos atau pupuk organik berkualitas tinggi. Selain cara pembuatannya relatif mudah dan sederhana, bahan-bahan yang diperlukan pun tersedia dilingkungan sekitarnya, sehingga sangat hemat dalam pengolahannya.

Pengolahan kotoran sapi menjadi kompos, tidak saja dapat menghemat biaya dan tenaga tetapi juga memberikan manfaat yang optimal bagi petani yang menggunakannya dalam pemupukan tanaman (Gambar 7).

ternak potong kerja dan kesayangan

PENDAHULUAN

Segala puji bagi Tuhan yang telah melimpahkan kenikmatan sehingga kami dapat menyelesaikan acara praktikum Ilmu ternak Potong Kerja dan Kesayangan dengan tuntas, semoga menjadi bekal dan manfaat untuk masa depan. Praktikum Ilmu ternak Potong Kerja pada bagian A. Pemeliharaan dan Pemotongan kelinci memberi pengetahuan bagi mahasiswa dalam pengelolaan ternak kelinci mulai dari perawatan hingga pemotongan atau panen. selaIain itu juga memberi pengetahuan tentang jenis-jenis kelinci yang diternak baik untuk ternak potong maupun ternak kesayangan.
Kelinci memiliki kemampuan yang baik sekali dalam mengubah pakan menjadi daging dan tiap kilogram berat hidup kelinci akan menghasilkan daging yang lebih banyak dibandingkan jenis hewan lainnya. Kelinci tidak harus mengkonsumsi pakan yang mahal, pakan dapat diberikan berupa hijauan yang berupa serat kasar yang banyak terdapat di sekeliling kita.Hal ini merupakan keuntungan bila kelinci digunakan sebagai penghasil daging. Selain itu kelinci juga mudah dipelihara tanpa modal/peralatan yang besar nilainya, dan untuk berproduksi hanya membutuhkan areal tanah yang tidak begitu luas.
Praktikum pemeliharaan kelinci dipelajari efisiensi pemeliharaan yang terdiri dari jenis pakan dan jenis kelamin, pengaruh konsumsi, pakan, pertumbuhan persentase karkas, MBR dan persentase bagian yang dapat dimakan. Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui secara langsung teknik-teknik beternak khususnya ternak kelinci yang mempunyai perlakuan yang berbeda-beda sehingga diketahui pengaruh dari pakan tersebut terhadap pertumbuhan dan perkembangan badan kelinci. Mengetahui bagian penyusun ditinjau dari kepentingan konsumsi manusia dan faktor-faktor yang mempengaruhi, dapat menentukan karkas dan non karkas, serta untuk mendapatkan gambaran (bentuk, ukuran, urutan dan mekanisme) sistema pencernaan serta sistem reproduksi.
TINJAUAN PUSTAKA

Asal-usul Kelinci
            Kelinci atau trewelu (Lepus Domesticus) adalah jenis kelinci yang jinak, yang dapat dipelihara dengan cara yang sangat sederhana dan memberi kemungkinan yang cukup baik sebagai kelengkapan perumahtanggaan masyarakat umumnya dan keluarga tani khususnya (Poespo, 1986).
            Sistematika kelinci menurut Reksohadiprojo (1984), adalah
Kingdom        : Animalia
Phylum            : Chordata
Sub Phylum    : Vertebrata
Class              : Mammalia
Family             : Leporidae
Genus             : Oryctolagus
Species          : Cuniculus
Menurut Whendrato dan Madyana (1986), pada saat ini di Indonesia ada tiga macam kelinci yaitu kelinci lokal, kelinci unggul dan kelinci crossing. Kelinci lokal adalah keturunan kelinci yang masuk ke Indonesia sejak lama, dibawa oleh orang Eropa/Belanda sebagai ternak hias/kesayangan. Ciri-ciri kelinci lokal adalah bentuk dan bobotnya kecil, sekitar 1,5 kg, bulu bervariasi putih, hitam, belang, abu-abu, bila diperhatikan kelinci lokal mempunyai ciri-ciri keturunan kelinci Belanda (Dutch) dan atau kelinci New Zealand; karena kawin silang yang tidak terkontrol dari generasi ke generasi, faktor makanan, faktor cuaca, faktor pemeliharaan dan lain-lain sehingga terjadilah kelinci yang biasa disebut kelinci lokal walaupun bukanlah berasal dari Indonesia asli. Kelinci Crossing merupakan kelinci hasil silang antara kelinci lokal dengan kelinci unggul atau hasil silang dua jenis strain unggul.


Perkandangan
            Menurut Nugroho (1982), kandang harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menjadi tempat berlindung bagi kelinci terhadap angin kencang, hujan, panas, terik matahari, binatang buas, dll. Sedangkan menurut Blakely dan Bade (1991), pemilihan jenis kandang tergantung pada ukuran atau besarnya usaha, iklim, model yang tersedia dan kemudahan untuk membersihkannya.
Menurut Whendrato dan Madyana (1986), pola kandang kelinci dapat dilaksanakan sesuai dengan keadaan normal peternak, keadaan lingkungan, keadaan bahan, keadaan lokasi peternakan dan sebagainya. Ada 3 macam jenis kandang berdasarkan penempatannya yaitu kandang dalam ruangan, kandang ini merupakan kandang yang ditempatkan dalam bangunan besar, kandang di luar ruangan, kandang ini ditempatkan di tempat terbuka, kandang tipe ini biasanya dipakai oleh peternak kecil dan kandang sangkar, kandang ini merupakan kandang yang bisa dipindah-pindahkan. Berdasarkan lantainya, terdapat 2 macam kandang kelinci yaitu kandang dengan lantai panggung, kandang ini lantainya tidak langsung di atas tanah dan kandang dengan lantai langsung di atas tanah, lantai kandang ini dibuat dengan tanah yang dilapisi dengan batu merah agar lantai cepat kering. Berdasarkan sistem pengelolaannya, kandang kelinci dibedakan menjadi 3 yaitu kandang battery (kandang yang tiap 1 ruangnya hanya diisi oleh seekor kelinci), kandang postal (kandang yang tiap ruangannya diisi oleh beberapa ekor kelinci) dan kandang sistem ranch (kandang yang di dalamnya terdapat tempat tidur/ istirahat dan tempat bermain/terbuka).
           
Pertumbuhan
            Menurut Soeparno (1992), pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan berat hidup, bentuk dan komposisi tubuh termasuk perubahan komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dibedakan menjadi 2 yaitu faktor lingkungan, seperti iklim, nutrisi, kesehatan, manajemen, dan faktor genetik seperti bangsa, umur dan jenis kelamin. Kecepatan pertumbuhan tidak saja dipengaruhi oleh pakan yang digunakan tetapi yang penting adalah kelengkapan zat gizi yang diperoleh.
Feed intake. Feed intake adalah sejumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan jumlah sisa pakan (Poespo, 1986). Pada umumnya feed intake kelinci betina akan lebih besar dari pada kelinci jantan. Hal ini disebabkan kelinci betina akan membutuhkan nutrien yang lebih banyak untuk siklus estrus dan kebuntingan (Basuki, 1985). Kebutuhan pakan untuk ternak berbeda-beda tergantung dari spesiesnya, ukuran ternak, tingkat pertumbuhan, penyakit, kondisi ternak, lingkungan dan defisiensi nutrien tertentu. Dalam kondisi normal pakan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhannya (Tillman, 1984).
ADG (Average Daily Gain). ADG adalah rata-rata kecepatan pertambahan berat badan harian yang diperoleh dengan berat akhir dikurangi berat awal kemudian dibagi lama pemeliharaan. ADG normal untuk kelinci adalah 10 sampai 15 gram dan yang mempengaruhi ADG adalah mekanisme dan kecepatan pertumbuhan dari ternak itu sendiri (AAK, 1978). Sedangkan menurut Reksohadiprojo (1995), ADG kelinci secara umum berkisar antara 8 sampai 20 gram.
FCR (Feed Conversation Ratio). FCR atau konversi pakan adalah besarnya perubahan dari pakan yang dikonsumsi menjadi pertambahan berat badan (gain) (Poespo, 1986). Menurut NRC (1997), dalam sehari kelinci memerlukan kadar ransum dengan kadar protein kasar sebesar 12 sampai 15 %, lemak 2 sampai 3,5 %, serat kasar 20 sampai 27%, dan mineral 5 sampai 6,5 %. Sedangkan kebutuhan untuk kelinci yang sedang tumbuh adalah sebesar 16% protein kasar, 10 sampai 12%serat kasar dan energi 2500Kkal/Kg.



Pemeliharaan
Handling. Menurut AAK (1995), cara memegang kelinci kelinci adalah dengan mengangkatnya atau memegang pinggangnya dengan pelan dan hati-hati. Untuk kelinci sedang, tangan kanan mencubit atau melipat kulit diatas bahu kemudian tangan kiri memegang tunggingnya. Sedangkan pada kelinci besar, cara memegangnya sama seperti kelinci sedang tetapi jika kelinci banyak bergerak maka harus dipegang dengan lebih hati-hati. Dan menurut Whendrato dan Madyana (1986), cara memegang dan mengangkat kelinci tidak boleh dilakukan dengan sembarangan sebab dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi kelinci, misal rusaknya otot dan saraf pada telinga maupun kakinya.
Sexing. Menurut AAK (1995), cara menentukan jenis kelamin kelinci yaitu ibu jari menekan di dekat alat kelamin bagian depan dengan pelan sehingga selaput yang berwarna merah akan nampak. Pada kelinci jantan akan nampak suatu organ berbentuk bulat dan runcing sedangkan pada yang betina akan nampak suatu tonjolan yang berbelah.
Pakan. Efisiensi produksi kelinci sebagian besar ditentukan oleh fungsi pakan yakni pakan yang cukup jumlahnya dan terpenuhi kandungan nutriennya. Pakan yang kurang baik dapat mengakibatkan pertumbuhan yang lambat, reproduksi dan efisiensi rendah serta kelinci mudah terserang penyakit. Kelinci membutuhkan pakan yang berkualitas sebanyak 3 sampai 3,5% (dalam bahan kering) dari berat badan untuk mempertahankan kondisi tubuhnya (Arrington dan Kelley, 1986). Sedangkan menurut NRC (1997), kebutuhan kelinci yang sedang tumbuh adalah sebesar 16% protein kasar, 10 sampai 12%serat kasar dan energi 2500 Kkal/Kg.

Perawatan dan Kontrol Penyakit
            Menurut Ramchurcn (1989), bahwa kandang yang jelek merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kematian kelinci, yaitu 89.2% kematian kelinci terjadi pada kandang yang jelek dan kandang yang baik persentase kematiannya hanya 14.9%.
            Menurut Whendrato dan Madyana (1986), kandang yang kotor mudah menimbulkan penyakit cacing, kudis, serta penyakit yang disebabkan oleh kuman/bakteri. Kandang yang salah konstruksi atau bahannya akan membuat kandang mempunyai kelembapan yang tinggi, bahkan lantai selalu basah sehingga akan menyebabkan penyakit kudis, kembung, pilek, cacing, jamur dan sebagainya. Kesalahan dalam membuat ventilasi yang juga berperan dalam pengaturan sinar matahari, angin langsung, sirkulasi udara segar, berhubungan dengan penyakit pilek, kembung, kudis, rachitis, gangguan telinga roboh, kanibal, kurang nafsu makan, mencret dan sebagainya.
            Menurut Poespo (1986), penyakit dalam seperti cacing dan coccidia dapat diobati dengan diberi obat cacing sedangkan penyakit kulit, excema, kudis dan kerontokan bulu dapat diobati dengan memberi campuran minyak kelapa dan bubukan welirang, larutan kapur dengan kunyit dan bawang merah yang dioleskan pada bagian kulit yang sakit setiap 2 sampai 3 hari sekali.
Pemeliharaan kelinci sebenarnya mudah, namun tidak terlepas dari ancaman dan gangguan penyakit. Kelinci yang terserang penyakit pada umumnya menunjukkan gejala-gejala antara lain lesu, nafsu makan tidak ada, mata sayu, suhu badan naik turun, dan beberapa tanda khas dari penyakit yang menghinggapinya. Kelinci yang menunjukkan tanda-tanda seperti ini sebaiknya langsung dipisahkan untuk menghindari penyakit menular (Sarwono, 2001). Beberapa penyakit yang menyerang antara lain:
Coccidiosis (berak darah). Penyebabnya adalah coccidia, gejala penyakit ini digolongkan menjadi 3 tipe yang ringan tanpa gejala, yang sedang mencret dan kehilangan berat badan, yang berat perut tampak besar, mencret bercampur darah yang diikuti pneumonia. Pencegahan dengan membersihkan dan mengeringkan kandang. Pengobatan dengan obat sul-Q-Nox, Noxal, Sulfa Strong (Sarwono, 2001).
Pneumoia (radang paru-paru). Disebabkan oleh sebangsa bakteri yaitu pasturella multocida. Gejalanya antara lain pernafasan lewat hidung dan sesak nafas, mata dan telinga berwarna kebiruan, paru-paru lembab dan kadang-kadang berisi nanah, dan diikuti dengan mencret (scours). Dapat diobati dengan sul-Q-Nox yang dicampurkan pada makanan atau minuman (Sarwono, 2001).
Mastitis (radang susu). Disebabkan oleh bakteri Staphylococcus. Gejalanya antara lain temperatur naik, susu dalam keadaan panas, serta kemerah-merahan. Air susu keruh, hitam keunguan, puting berwarna merah tua atau kebiruan dan nafsu makan berkurang. Penyakit ini dapat diobati dengan injeksi dengan penicillin 2 kali sehari. Kandang didesinfektan dan tidak boleh memindahkan anak dari induk sakit ke induk yang sehat (Sarwono, 2001).
Bloat (kembung). Penyebabnya udara dalam kandang lembab/basah, angin langsung, salah makan. Gejalanya antara lain biasanya kelinci berdiri dengan posisi membungkuk, kaki depan agak maju, telinga turun, mata surut dan memicing, gigi berkerat menahan haus selalu mendekati tempat minum, kotoran berwarna hijau gelap dan berlendir. Penyakit ini dapat diobati dengan Stop Diare dan Gastrop, Hermohagil, Diarrheal Enteritis (Sarwono, 2001).
Coriza/pilek (Snuff). Penyebabnya adalah bakteri. Gejalanya adalah bersin-bersin, nafsu makan menurun dan kaki selalu menggaruk-garuk lubang hidung. Pencegahannya sanitasi kandang, kepadatan kandang diperhatikan, peningkatan gizi pakan, pemberian vitamin dan mineral harus cukup. Pengobatan dengan memberikan Cavia Drops (diberikan 3 sampai 5 tetes per hari per ekor) (Sarwono, 2001).



Pemotongan dan Komposisi Tubuh
Presentase Karkas. Menurut Kartadisastra (1997), karkas pada ternak kelinci adalah bagian yang sudah dipisahkan dari kepala, jari-jari kaki, kulit, ekor dan jerohan. Besarnya bobot karkas tergantung pada besar kecilnya tubuh kelinci, penanganan kelinci, jenis kelinci, sistem pemeliharaan, kualitas bibit, macam dan kualitas pakan, serta kesehatan ternak. Berat karkas yang baik berkisar antara 40 sampai 52% dari berat badan hidupnya. Menurut Basuki (1985), persentase karkas segar kelinci lokal jantan adalah 44.87% dan yang betina adalah 42.43%.
MBR (Meat Bone Ratio). Menurut Arrington dan Kelley (1986), meat bone ratio adalah perbandingan antara berat daging dan berat tulang dan MBR untuk kelinci yang berproduksi baik adalah 5:1, perbandingan ini tergantung pada kondisi karkas.
Cara Pemotongan. Menurut Kartadisastra (1985), prinsip pemotongan adalah memutuskan saluran darah balik (vena jugularis) pada bagian leher. Terdapat 3 metode dalam pemotongan yaitu metode pemukulan, pematahan, dan metode penyembelihan.
Cara Menguliti. Menurut Kartadisastra (1985), pengulitan adalah kegiatan memisahkan kulit dari tubuh ternak kelinci yang sudah disembelih. Pengulitan dilakukan untuk menghindari terjadinya bau pada daging. Dan menurut AAK (1995), segera setelah darah keluar maka dapat langsung dikuliti dan jangan sampai bulu dapat melekat pada dagingnya dan tidak boleh terkena air kencingnya.
Komposisi Tubuh. Untuk melihat komposisi tubuh diperlukan pembelahan dengan jalan daging dubuka dengan irisan dari anus ke arah dada. Masing-masing organ ditimbang. Berat karkas segar kelinci adalah berat tubuh yang mengalami pemotongan dikurangi darah, kepala, kulit, kaki dan organ dalam kecuali ginjal. Berat karkas kelinci rata-rata 55%, sedang yang berkualitas baik dapat mencapai 60% (Arrington dan Kelly, 1986). Kelinci lokal dapat mencapai berat maksimum 2 kg dan dapat menghasilkan daging dan bagian-bagian yang dapat dimakan sebanyak 0,75 kg (Rismunandar, 1982).

Sistem Digesti
            Kelinci termasuk pseudoruminant yaitu herbivora yang tidak dapat mencerna serat kasar dengan baik. Kelinci memfermentasikan pakan di coecum yang kurang lebih 50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaannya (Sarwono, 2001).
            Menurut Arrington dan Kelly (1986), kelinci termasuk pseudoruminant tetapi sistem digestinya tidak berfungsi seperti ruminant dan alat pencerna makanannya mempunyai karakteristik hewan monogastrik. Perut kelinci terdiri dari 3 bagian yaitu bagian cardiac di dekat oesophagus, fundus di sebelah kiri bagian cardiac dan pylorus di dekat usus halus. Volume perut adalah 36% dari total volume saluran pencernaan, pH di dalam perut adalah 1.9. Coecum adalah segmen paling besar dari saluran pencernaan besarnya 42% dari total volume.
            Menurut Blakely dan Bade (1991), sistem pencernaan kelinci merupakan sistem pencernaan yang sederhana dengan coecum dan usus yang besar. Hal ini memungkinkan kelinci dapat memanfaatkan bahan-bahan hijauan, rumput dan sejenisnya. Bahan-bahan itu dicerna oleh bakteri di saluran cerna bagian bawah seperti yang terjadi pada saluran cerna kuda. Kelinci mempunyai sifat coprophagy yaitu memakan feses yang sudah dikeluarkan. Feses ini berwarna hijau muda dan lembek. Hal ini terjadi karena konstruksi saluran pencernaannnya sehingga memungkinkan kelinci untuk memanfaatkan secara penuh pencernaan bakteri di saluran bagian bawah atau yaitu mengkonversi protein asal hijauan menjadi protein bakteri yang berkualitas tinggi, mensintesis vitamin B dan memecah selulose/ serat menjadi energi yang berguna.


Sistem Reproduksi
Sistem Reproduksi Hewan Jantan. Organ genitalia kelinci jantan menurut Anonimus (1990), terdiri atas:
            Testis .Berbentuk bulat telur ,sepasang menghasilkan sperma .Ini berarti di dalam scrotum setalah mengalami descencus testikulum .
            Epididymis. Setelah media testis melengkung dari cranial sepanjang testis dan terdiri dari caput epididymis, cauda epididymis, ductus deferens dan ductus ejakulatoris.
            Penis. Merupakan organ genetalia exsternal yang tersusun oleh corpus cavernosum penis, corpus covernosum urethral dan preputium.
            Kelenjar Genitalia Maskulinus. Terdiri dari glandula prostata, uterus masculinus, glandula vesikularis ,Glandula Balbourethrali dan glandula inguinalis.
Sistem Reproduksi Hewan Betina. Organ genitalia kelinci betina menurut Anonimus (1990) terdiri atas:
Ovarium. Terdiri dari sepasang, terletak di sebelah caudal dari ren. Dalam ovarium terdapat folikel graaf. Selain itu terdapat corpus luteum, bentuknya massif, berwarna kuning yang dari folikel. Corpus luteum ini setelah terisi membentuk hormon progesteron.
Infundibulum. Merupakan pelebaran dari tubae yang berbentuk corong dekat ovarium. Pada tepi terdapat rambut-rambut yang di sebut fibrae.
Tubae. Merupakan saluran tipis berkelok-kelok dan merupakan lanjutan dari infundibulum   ke sebelah caudal serta pada rostralnya terjadi conceptio.
Uterus. Uterus pada kelinci adalah uterus tipe bikornis yang berdinding tebal dan merupakan tempat embrio melekat dengan perantara placenta .
Vagina. Merupakan muara keluar sebagai icroitus vagina .
Vulva. Vulva adalah bagian dari alat reproduksi merupakan celah diantara labia mayora ,sedangkan labia minora terletak sebelah dalam labia mayora.
Clitoris. Clitoris adalah alat kecil yang homolog dengan penis yang terdiri dari corpus covernosum spoisum, clitoris, preputium dan glandula clitoris.   
 
MATERI DAN METODE

MATERI
Alat. Alat-alat yang digunakan yaitu pisau pemotong yang tajam, plastik untuk menampung darah, timbangan, dan pisau untuk menguliti kulit kelinci, plastik untuk alas meletakkan daging dan organ lainnya.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum Ilmu Ternak Potong, Kerja dan Kesayangan ini adalah seekor kelinci jantan lokal yang dipelihara di kandang pemeliharaan kelinci Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.

METODE
Kelinci dipelihara di laboratorium ternak potong selama 29 hari. Pakan yang diberikan berupa kangkung, dimana sebelum diberikan ditimbang dan dicatat. Penimbangan dilakukan setiap seminggu sekali, dan pada penimbangan terakhir dilaksanakan pemotongan kelinci.
Pemotongan kelinci dilakukan dengan memegang erat keempat kakinya. Pemotongan dilakukan di oesophagus, vena jugularis, arteria karotis dan tenggorokan, sehingga darah keluar secara sempurna, oleh karena itu bagian kepala harus lebih rendah dari bagian ekor.
Kemudian kepala dipotong hingga terpisah dari tubuh, kelinci digantung di bagian kaki belakang. Kulit dikuliti dari pergelangan kaki belakang dengan kedua kaki dipegang oleh praktikan yang lain. Kulit dikuliti dari pergelangan kaki kiri dan kanan ke arah anus. Kemudian ditarik ke arah kepala, sehingga kulit terlepas dari badan. Kemudian pada bagian perut dibuka dan difoto saluran-saluran pencernaan serta alat-alat reproduksinya.
Selanjutnya dilakukan penimbangan kepala, darah yang ditampung, keempat kaki, kulit, daging, tulang dan karkas. 


HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkandangan
            Kandang yang digunakan dalam praktikum pemeliharaan kelinci adalah kandang battery yaitu kandang yang setiap satu ruangan hanya diisi seekor kelinci dan berukuran panjang 100cm, lebar 45cm, tinggi 50cm. Ukuran ini adalah untuk kelinci dewasa/dara. Keuntungan pemakaian kandang battery adalah sanitasi, pengawasan, pencegahan, pengobatan kelinci per ekornya lebih mudah, mencegah perkelahian, kelinci lebih tenang sesuai dengan sifatnya yang individualis, program pembiakan bisa diatur dengan mudah, anak kelinci lebih aman, sebab tidak diserang/diinjak kelinci lain, kelinci dapat berproduksi lebih banyak pertahun dengan program pembiakan yang teratur, lebih ekonomis dibandingkan dengan pemakaian kandang sistem koloni. Hal ini sesuai dengan literatur yang dikemukakan oleh Whendrato dan Madyana (1986). Menurut Sarwono (1996), kelemahan kandang battery adalah air kencing yang tertampung di bawahnya yang menggenang tidak bisa cepat kering sehingga menyebabkan kandang menjadi lembab sehingga kelinci mudah terserang Pneumoni yaitu radang basah dalam paru-paru.

Pertumbuhan
            Feed intake. Feed intake adalah sejumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan jumlah sisa pakan. Pada praktikum pemeliharaan kelinci, feed intake total kelinci betina selama pemeliharaan 29 hari adalah sebesar 10950,8 gram untuk kangkung dan 714,4 gram untuk konsentrat. Perlakuan pemberian pakan yang berbeda mempengaruhi feed intake pada masing-masing kelinci. Pada umumnya feed intake kelinci betina akan lebih besar dari pada kelinci jantan. Hal ini disebabkan kelinci betina akan membutuhkan nutrien yang lebih banyak untuk siklus estrus dan kebuntingan (Basuki, 1985).
ADG (Average Daily Gain). Praktikum pemeliharaan kelinci selama 23 hari didapatkan ADG sebesar 3,47 gram. Pada awal pemasukan, kelinci memiliki berat 1400 gram. Selama praktikum selama 29 hari didapatkan bobot akhir kelinci sebesar 1480 gram. Kelinci mengalami kenaikan berat badan sebesar 80  gram. Menurut Kartadisastra (1997), ADG kelinci adalah 10-15 gram. ADG kelinci yang dipelihara dibandingkan dengan referensi maka tidak berada pada kisaran normal. Menurut Basuki (1985), yang mempengaruhi ADG adalah mekanisme dan kecepatan pertumbuhan dari ternak itu sendiri, makanan, jenis kelamin, umur, dan media tempat hidup.
FCR (Feed Convertion Ratio). FCR atau konversi pakan adalah besarnya perubahan dari pakan yang dikonsumsi menjadi pertambahan berat badan (gain) (Poespo, 1986). Hasil praktikum didapatkan FCR sebesar 8,8045. Kebutuhan untuk kelinci yang sedang tumbuh adalah sebesar 16% protein kasar, 10 sampai 12% serat kasar dan energi 2500Kkal/Kg (Poespo, 1986).

Pemeliharaan
            Handling. Kelinci yang digunakan pada waktu praktikum merupakan kelinci kecil sehingga handling yang digunakan adalah cukup dengan dengan mengangkat atau memegang pada punggung kelinci dengan pelan dan hati-hati. Tumit kaki depan diletakkan pada suatu tempat, hal ini bertujuan untuk menghindari kerusakan kulit, bulu ataupun kerangka kelinci tersebut (AAK, 1995).
            Sexing. Penentuan jenis kelamin kelinci dilakukan dengan pengecekkan secara langsung pada kelinci tersebut, yaitu dengan cara ibu jari menekan di dekat alat kelamin bagian depan dengan pelan sehingga selaput yang berwarna merah akan nampak. Pada kelinci jantan akan nampak organ reproduksinya berbentuk bulat dan runcing sedangkan pada yang betina akan nampak tonjolan yang berbelah (AKK, 1995). Sesuai dengan teori dala literature tersebut maka kelinci yang digunakan dalam praktikum ini adalah kelinci jantan.
Pakan. Praktikum pemeliharaan kelinci kali ini, kelinci dipelihara selama 29 hari dan dilakukan 5 kali penimbangan untuk mengetahui pertambahan berat badan pada kelinci. Pakan yang diberikan dalam praktikum pemeliharaan kelinci adalah hijauan (kangkung) dan konsentrat dengan perbandingan  hijauan : konsentrat = 30% : 70%. Pemberian pakan ini dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan sore. Perbandingan jumlahnya untuk pagi dan sore yaitu 40% : 60%. Hijauan dipilih kangkung karena kangkung adalah salah satu bahan makanan hijauan yang biasa diberikan pada kelinci. Dalam bahan segar kangkung mengandung air 93%, protein 1.9%, lemak 0.2%, mineral 1% dan serat kasar 1.6%. Selain kangkung bahan pakan yang diberikan adalah konsentrat. konsentrat merupakan ransum yang berkualitas tinggi karena kandungan zat-zat pakannya terutama protein cukup tinggi dan serat kasarnya rendah. Pemberian konsentrat akan memberikan peningkatan laju pertumbuhan (AAK, 1995).

Perawatan dan Kontrol Penyakit
            Selama 29 hari dipelihara, kelinci tersebut tidak menunjukkan gejala-gejala terkena penyakit hanya saja berat badannya yang terus berkurang dari minggu ke minggu. Hal ini menunjukkan bahwa kelinci ini telah dipelihara dengan baik. Menurut NRC (1987), untuk kelinci yang sedang tumbuh dibutuhkan adanya nutrien tambahan dari jenis hijauan dan konsentrat lain. Karena tidak adanya hijauan dan konsentrat lain maka berat badan kelinci terus menerus turun.


Pemotongan dan Komposisi Tubuh
            Dari praktikum pemotongan kelinci diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 1.1 Data hasil pemotongan kelinci
Bagian Tubuh
Berat (gram)
Berat hidup (A)
Berat darah dan wadah darah (X)
Berat darah (X-Y=Z)
Berat kepala (B)       
Berat kulit (C)
Berat keempat kaki (D)
Berat jantung (E)
Berat paru-paru (F)  
Berat hati (G)
Berat ginjal    
Berat saluran pencernaan dengan isi
Berat saluran pencernaan tanpa isi (H)  
Berat saluran dan organ reproduksi (I)   
Berat karkas (J)       
Prosentase berat karkas (J/Ax100%)
Berat daging (K)      
Berat tulang (L)
MBR (K/L)     
Prosentase edible portion
Prosentase non edible portion 
1,51
73,2
46,9
150
115
40
3,5
9
50
5
320
160
11,3
700
46,35 %
350
210
1,67
27,31 %
48,55 %

Persentase karkas. Karkas kelinci merupakan kelinci yang telah disembelih dikurangi kepala, kulit, keempat kaki dari tarsus dan karpus ke bawah, serta seluruh organ kecuali jantung, hati dan ginjal (Arrington dan Kelly, 1976). Istilah untuk menyatakan hasil karkas adalah persentase karkas yaitu perbandingan antara berat karkas dengan berat potong yang dinyatakan dalam persentase. Persentase dipengaruhi oleh berat potong, jenis kelamin, dan keadaan ternak sebelum dipotong (Kartadisastra,1997). Dari hasil praktikum, berat karkas yang diperoleh adalah 303.5 gram dengan persentase 45.29, setelah diandingkan dengan literatur Nugroho (1982), bahwa kelinci yang berproduksi baik, persentase karkasnya mencapai 55% dari berat hidup atau kurang lebih dengan MBR 5:1, perbandingan ini tergantung pada kondisi karkas. Sedangkan menurut Basuki (1985), persentase karkas segar kelinci lokal jantan adalah 44.87% dan yang betina adalah 42.43% dan menurut Blakely dan Bade (1991), bahwa persentase karkas yang baik adalah diatas 50%. Berat karkas kelinci rata-rata 55%, sedang yang berkualitas baik dapat mencapai 60% (Kartadisastra,1997). Setelah dibandingkan dengan literatur yang ada maka persentase karkas kelinci tersebut masih dianggap normal.
MBR (Meat Bone Ratio). Meat Bone Ratio adalah suatu perbandingan antara jumlah daging dan jumlah tulang. Menurut Reksohadiprojo (1995) dan Parkin dan Frost (1983),  MBR yang normal pada kelinci unggul adalah 5 : 1 sedangkan hasil MBR yang didapatkan adalah 146.1 : 105.1 atau 3:2. Hal ini menunjukan Meat Bone Ratio pada kelinci yang diteliti tidak sesuai dengan kisaran normal MBR pada kelinci unggul. Setelah dibandingkan dengan literatur yang ada maka MBRnya jauh dari normal, hal ini dikarenakan oleh berat hidup kelinci yang kecil dan berat karkasnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi persentase berat karkas yaitu berat hidup dan berat karkas. Dimana kedua faktor tersebut dipengaruhi beberapa faktor yaitu pakan yang diberikan, air yang diberikan, jenis kelamin, keturunan, lingkungan, suhu lingkungan, dan bangsa (Nugroho, 1982).
Cara pemotongan. Pada praktikum pemotongan kelinci, metode yang digunakan untuk memotong adalah kelinci disembelih seperti biasa secara langsung dengan menghadap kiblat dan mengucap basmalah sebagaimana dilakukan terhadap ternak sapi, domba, kambing atau ayam. Kemudian, segera setelah disembelih, kelinci digantung dengan posisi kaki belakang di atas untuk memperlancar peredaran darah, hal ini sesuai dengan literatur Kartadisastra (1997). Setelah darah keluar segera dapat dikuliti dan jangan sampai bulu dapat melekat pada dagingnya dan sekali-kali tidak boleh terkena air kencingnya (AAK, 1995).
Cara menguliti. Menurut Kartadisastra (1985), pengulitan adalah kegiatan memisahkan kulit dari tubuh ternak kelinci yang sudah disembelih. Pengulitan dilakukan untuk menghindari terjadinya bau pada daging. Dan menurut AAK (1995), segera setelah darah keluar maka dapat langsung dikuliti dan jangan sampai bulu dapat melekat pada dagingnya dan tidak boleh terkena air kencingnya. Cara yang dilakukan pada saat pengulitan sudah sesuai dengan literatur tersebut.
Komposisi tubuh. Berdasarkan pemotongan kelinci diperoleh hasil komposisi tubuh seperti tabel A.1 Pada tabel tersebut diperoleh presentase karkas kelinci 46,35 % dengan berat 700 gram. Berat hidup kelinci adalah 1151 gram, berat kepala 150 gram, kulit 115 gram, saluran dan organ pencernaan tanpa isi 160 gram, saluran dan organ reproduksi 11,3 gram, berat daging 350gram dan berat tulang 210 gram. Komposisi tubuh ini tidak selalu sama antara beberapa kelinci, dan dipengaruhi oleh asal dan bangsanya (Arrington dan Kelley, 1986).

Sistem Digesti
            Dari hasil pembedahan terhadap kelinci, dapat diketahui sistem pencernaan yang terdiri dari mulut, oesophagus, ventrikulus, usus halus, usus besar, coecum, rectum dan anus. Sistem pencernaan ini sesuai dengan uraian Nugroho (1982), bahwa saluran pencernaan ternak non ruminansia terdiri dari mulut, oesophagus, ventrikulus atau lambung, usus halus, coecum, usus besar, rectum dan anus.
            Menurut Sarwono (2001), terdapat perbedaan panjang usus halus, hal ini disebabkan karena pembedaan kemampuan absorbsi zat-zat makanan di dalam usus halus. Saluran terpanjang dari kelinci adalah usus halus. Karena di dalam usus halus terjadi absorbsi makanan dalam jumlah yang besar. Coecum pada ternak kelinci tumbuh pada ukuran yang besar (kurang lebih 45% dari saluran pencernaan), sehingga kelinci dapat melakukan coprophagy (memakan kembali kotorannya yang mengandung protein atau asam amino dan vitamin hasil fermentasi mikrobia). Oleh karena itu, kelinci sering melakukan pseudoruminansi apabila dalam ransom atau pakan kekurangan protein atau vitamin B.
Menurut Cheeke et al., (1982), asam-asam lemak (VFA) hasil fermentasi oleh mikrobia dalam coecum diperkirakan menyumbang 30% dari kebutuhan energi untuk pemeliharaan tubuh. Selanjutnya kelinci mampu mencerna protein pada tingkat yang sama dan ekstrak ether pada tingkat yang lebih tinggi dari pada herbivore lain. Hal ini mungkin berhubungan dengan sifat-sifat coprophagy (memakan kotoran sendiri) yang dimiliki oleh kelinci.

Sistem Reproduksi
            Pada pembedahan kelinci terlihat alat-alat reproduksi kelinci betina seperti ovarium, infundibulum tube, uterus, vagina, vulva, dan clitoris. Walaupun tidak tampak secara jelas karena kelinci tersebut masih kecil. Ovarium terdiri dari sepasang yang terletak disebelah caudal dan ren. Infundibulum tube yang terletak di dekat ovarium seperti corong dan di bagian tepinya terdapat satu rambut yang disebut fimbria. Fungsi fimbria untuk melindungi bagian ujung dari infundibulum. Uterus kelinci bertipe bicornu (Anonimus, 1995). Pada praktikum didapatkan bahwa berat sistem reproduksi dan saluran reproduksi betina seberat 0.3 gram.
            Pada pembedahan terlihat alat-alat reproduksi kelinci jantan antara lain testis, epididimis, vas deferens dan penis. Testis ada sepasang dan terletak dalam scrotum karena telah mengalami descensus testiculorum yaitu turunnya testis ke dalam scrotum (Anonimus, 1986).



KESIMPULAN

            Kandang yang digunakan dalam praktikum pemeliharaan kelinci adalah kandang battery yaitu kandang yang setiap satu ruangan hanya diisi seekor kelinci. Pakan yang diberikan adalah konsentrat dan hijauan. Cara yang dilakukan dalam pemotongan kelinci pada umumnya tidak banyak berbeda dengan teknik pemotongan ayam. Pemotongan dilakukan tepat di bawah kepala sehingga terpotong arteri carotis, vena jugularis, oesophagus dan tenggorokan. Selama pemeliharaan 29 hari feed intakenya sebesar 1022.02 gram untuk kangkung dan 281.688 gram untuk konsentrat, ADG kelinci betina adalah 7.14 gram sedangkan ADG kelinci jantan adalah 7.33, FCRnya sebesar 6.48% untuk kelinci betina sedangkan untuk kelinci jantan sebesar 3.489%. Berat karkas yang diperoleh adalah 303.5 gram dengan persentase karkas 45.29% dan MBR 3:2 sehingga dapat disimpulkan bahwa persentase karkas kelinci tersebut masih normal.
Sistem digesti kelinci terdiri dari mulut, oesophagus, ventrikulus, usus halus, usus besar, coecum, rectum dan anus. Perutnya terdiri dari 3 bagian yaitu bagian cardiac di dekat oesophagus, bagian fundus di kiri bagian cardiac, dan pyloric di dekat usus halus. Terdapat perbedaan panjang usus halus hal ini disebabkan karena perbedaan kemampuan absorbsi zat-zat makanan di dalam usus halus. Saluran terpanjang dari kelinci adalah usus halus karena di dalam usus halus terjadi absorbsi makanan dalam jumlah yang sangat besar. Kelinci sering melakukan pseudoruminansi apabila dalam ransum atau pakan kekurangan protein atau vitamin B. alat reproduksi kelinci betina adalah ovarium, infundibulum tube, uterus, vagina, vulva, dan clitoris sedangkan alat reproduksi jantan antara lain testis, epididimis, vas deferens dan penis.



DAFTAR PUSTAKA

AAK. 1995. Pemeliharaan Kelinci. Kanisius. Yogyakarta.

AAK. 1998. Kawan Beternak. Kanisius. Yogyakarta.

AAK. 1982. Pemeliharaan Kelinci. Kanisius. Yogyakarta.

Anonimus. 1985. Pemeliharaan Kelinci. Kanisius. Yogyakarta.

Anonimus. 1986. Case Study Produksi Ternak Potong. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Arrington, L. R. and Kelley K. C. 1986. Domestic Rabbit Biology and Production. The University Presses of Florida. Tallahassee, Florida.

Basuki, P. 1985. Studi Kereman, Panggung, Individual dan Kualitas Pakan Terhadap Performa Produksi Kelinci. Laporan Penelitian Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Blakely, James and David H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan edisi IV. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Cheeke, et al. 1982. Rabbit Production. The Interstate Printer and Publisher Inc. Danville Illinois.

Kartadisastra. 1997. Ternak Kelinci. Kanisius. Yogyakarta.

NRC. 1987. Nutrient Requirement of Rabbit Second Revised Edition. National Academy of Sciences Wahington, DC.

Nugroho, Hari. 1982. Beberapa Pengamatan manajemen Ternak Kelinci di Jawa Barat dan Jawa Timur. Universitas Brawijaya. Malang.

Parkin, R. J. and Fost, S. J. 1983. Commercial Rabbit Production 9th Ed. Univ. of Agricultural Fiseries and Food. London.

Poespo, Saleh. 1986. Penerangan Umum atau Pedoman Kelinci dan Marmut. FKH&P UGM. Yogyakarta.

Ramchurcn, R. 1989. Improved Housing Condition for Rabbits. Trop. Anim. Prod. 4:223-231.

Reksohadiprojo. 1984. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. Fakultas peternakan UGM. Yogyakarta.
Rismunandar, 1982. Beternak Kelinci. Seri Indonesia Membangun No. 5 N. V. Masa Baru. Bandung.

Sarwono. 2001. Beternak Kelinci Unggul. Kanisius. Yogyakarta.

Suharsono. 1989. Pengaruh Berbagai Macam Makanan pada Protein Kasar yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Kelinci Proseeding Seminar Penelitian Peternakan Bogor. Bogor.

Schiere, J.B. and S. Chuzaemi.1981. A Literature Review on Rabbits and Preliminary Experiences with a Rabbit Digestion Trial. Miscell Report UNIBRAW-FPP-NUFFIC. Malang.

Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tillman, A.D, et al. 1984. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tulloh, N. M. 1988. Growth, Development, Body Composition, Breeding and Management at: A Course Manual in Beef Cattle Management and Economic. Academy Press Pty Ltd. Brisbane.

Whendrato, I dan Madyana, I. M. 1986. Beternak Kelinci Secara Popular. Eka Offset. Semarang.

posting ini ane copy dari link : http://anakkandang.multiply.com/journal/item/1/ternak_potong_kerja_dan_kesayangan